• Home
  • About
twitter instagram Email

CONFINEMENT


kemarin saya melamar pekerjaan. itu adalah kali pertama sejak beberapa tahun belakangan saya benar-benar berharap akan sesuatu yang menyenangkan, dan saya merasa saya punya cukup peluang untuk bisa mendapatkan pekerjaan ini.


yang sering luput oleh saya, adalah seberapa tinggi kita berharap, ya sejauh itu pula kita akan jatuh.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

Welcome back! It has been a (long) while.
Share
Tweet
Pin
Share
No comments
kadang menulis memang bisa membuat saya merasa berlebihan memandang sesuatu. saya kerap kali dipaksa memberikan arti pada hal-hal yang sebenarnya bisa saja saya abaikan. misalnya, lupa membawa kunci rumah atau kostan dan jadi terkunci di luar. bukan hal yang monumental dalam hidup dan harus saya abadikan, bukan? tapi saya beri kunci kamar, jatinangor, dan jakarta arti lebih. lalu, jurusan jakarta-sumedang tercipta.

-

jurusan jakarta-sumedang ditulis di hari yang sama ketika saya harus pergi ke jatinangor (untuk revisi terakhir skripsi (yang-akhirnya-sudah diselesaikan!)), tapi saya baru teringat bahwa saya tidak membawa kunci apartemen ketika saya sudah duduk manis di gerbong kereta yang tengah melaju menuju bandung.




saya sudah tinggal di jakarta, di rumah yang sama, bertumbuh dan bersama orang-orang yang sama, selama 17 tahun hidup saya. lalu tahun 2013 saya diterima di unpad dan pergi ke jatinangor, meninggalkan kota jakarta dan rumah satu-satunya yang saya tahu. tapi siapa yang tahu, ternyata di sana saya menemukan kota (kecamatan) dan rumah yang baru.

enam tahun lalu, saya mungkin mengartikan rumah hanya sebatas dinding batu-bata dan atap, menaungi sebuah keluarga yang dipaksa tinggal bersama. itulah jakarta bagi saya. tapi jatinangor menawarkan rumah yang datang satu paket dengan kebebasan dan fasilitas untuk menemukan diri saya sendiri tanpa kepura-puraan. saya terima tawaran rumah baru tersebut dan saya bayar lewat angsuran.

beberapa tahun terakhir di jatinangor, saya merasa bahwa "pulang" ke jakarta adalah sebuah tugas. dan seperti semua tugas, saya menunda-nunda menyelesaikannya. jadwal kepulangan saya saat masih tingkat satu adalah sebulan sekali. saat saya tingkat dua berubah menjadi dua bulan sekali. ketika saya tingkat empat, saya pulang satu semester sekali. titel rumah lebih tepat diberikan pada jatinangor, bukan jakarta. rumah saya berubah, tapi saya merasa baik-baik saja.

ketika saya berjarak dengan jakarta, ia jadi lebih hangat. saya pulang disambut senyuman dan kadang pelukan. jarak memang kadang menjadi obat bagi hati yang malu saat dekat. papa mencium pipi kanan saya kalau saya baru pulang, dan mama mengecup pipi kiri saya kalau saya hendak pergi. di jakarta saya kadang harus membagi dua hari di akhir minggu untuk kakak, teman sma, teman smp, dan teman kuliah. kami semua bertumbuh, tapi tidak menjauh. jakarta menjadi berbeda dan tetap familiar di saat yang sama. lalu saya sadar bahwa rumah saya bukan berubah, melainkan bertambah.

tapi ketika saya sedang terhimpit pengapnya primajasa lebak bulus-tasikmalaya atau tersengat wangi parfum penumpang sebelah di kereta bandung-jakarta, saya selalu merasa melankolis, tapi euforik. sedih, senang, lelah, semangat, dan perasaan-perasaan kontradiktif lainnya bercampur. jarum di spektrum perasaan bergerak kacau sepanjang tiga sampai empat jam perjalanan. tapi begitu sampai di tempat tujuan, campuran perasaan tadi menghasilkan rindu akan tempat yang baru saja ditinggalkan. dan saya kemudian belajar (lagi) bahwa rindu tidak pernah datang sendiri; ia selalu bergandengan tangan dengan sendu dan berkomplot menyerang saya.
sendunya memang akan berangsur reda hanya dalam sehari dua hari, lalu saya akan merasa baik lagi; sudah sibuk membuat rencana dengan teman dan keluarga. namun jadwal berangkat berikutnya ditetapkan lagi. sedih, senang, lelah, semangat, rindu, kemudian sendu; semuanya harus diulangi.

saya mulai menyadari bahwa sulit sekali menjaga tenang kalau saya punya dua tempat yang saya anggap rumah. berangkat dari satu rumah dan pulang ke rumah lainnya banyak mempengaruhi saya secara fisik dan emosional, dan membuat saya mudah sekali lelah. juga sebuah hal yang sulit untuk menentukan ke mana saya benar-benar berpulang. saya selalu merindukan jatinangor di jakarta, dan merindukan jakarta di jatinangor.




saya menulis ini saat saya tengah menyiapkan masa-masa terakhir di jatinangor. saya akhirnya lulus di bulan februari lalu. setelah wisuda di mei mendatang, saya akan sepenuhnya meninggalkan jatinangor dan pulang ke jakarta.
entah seberapa banyak rindu dan sendu yang harus saya bawa sendiri; entah berapa lama mereka akan bermain di kepala saya; entah mereka akan pergi atau menetap selamanya.

tapi sebagaimana jakarta yang tumbuh bersama saya bahkan saat saya meninggalkannya, saya harap jatinangor bisa berlaku begitu juga. bertumbuh bersama dan bisa menjadi rumah kecil di ujung kota, tempat saya, sepuluh tahun lagi, bisa pulang dan masih merayakan kebebasan yang sama.



cheers,
ζ

---------------------------------------
KL's skyline in b/w taken on Feb 23rd 2019, edited with Photos
Bandung station taken on Feb 18th 2019 edited with VSCO

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
hal yang saya sadari setelah menulis lima episode di belakang adalah bahwa di belakang menjadi hal yang paling menantang; hal yang harus saya terjang setelah asik menulis puisi atau prosa yang lebih bebas. ketika menulis di belakang, saya harus dalam keadaan sadar secara penuh, karena sulit bagi saya menahan diri untuk mengungkapkan proses berpikir dan merasa terlalu banyak ketika menulis untuk publik.

di belakang jadi jauh lebih membingungkan ketika puisi atau prosanya tidak didasarkan kepada hal yang kompleks dan bisa diceritakan (lihat: layang-layang dan di belakang ep.5). begitu pula dengan ampas. apa yang saya bisa katakan lebih jauh ketika inspirasi ampas datang hanya dari ketika saya benar-benar kehabisan gelas untuk menyeduh kopi pagi, dan saya senang sekali melihat gumpalan ampas kopi di bak cuci? sedangkan bagian kedua dari ampas adalah murni sebuah adegan fiksi?




karena kebingungan-kebingungan ini, maka lahirlah seri baru; sebuah lawan dari di belakang: baik dalam segi fiksi-nonfiksi, maupun segi proses berpikirnya. saya sebut ini sebagai "ke depan".

jika di belakang lebih menyerupai esai personal yang menceritakan proses berpikir dan merasa sebelum karya saya lahir, ke depan adalah karya yang merupakan interpretasi selanjutnya dari karya yang sudah ada. dan karena saya memiliki bekal kelas menulis delapan pertemuan di awal tahun 2017, interpretasi baru dari karya saya sendiri akan saya bentuk sebagai cerita pendek.
sejujurnya, saya belum banyak mencari kesempatan menulis cerpen. pun setelah membuat dua cerpen dalam dua tahun terakhir, saya masih merasa cerpen adalah hal yang sulit dan baru bagi saya. masalah menahan diri untuk tidak bertele-tele dan mengemas konsep dalam jumlah kata yang terbatas adalah kesulitan yang paling terasa. tapi, tidak ada salahnya untuk mulai belajar (lagi), yang saya mulai lewat ke depan.

semoga ke depan bisa menjadi langkah yang lebih mudah diambil. toh, manusia pada hakikatnya akan bergerak maju, bukan terus-terusan melihat masa lalu.

cheers,
ζ



---------------------------------------------------
flock of birds of Mecca
taken with Lenovo S850 on 30/12/2017
edited with VSCO
Share
Tweet
Pin
Share
No comments


saya adalah orang yang percaya bahwa tidak ada yang namanya pemberi harapan palsu, yang ada hanya mereka yang terlalu mudah jatuh cinta.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
yang lebih menakutkan dari pukul tiga pagi ditulis berdasarkan apa yang saya sadari akhir-akhir ini (rasanya memang semua tulisan saya seperti itu, sih). tapi bagi saya ini merupakan salah satu penyadaran yang membuat saya takjub. jadi, begini ceritanya.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
kamis 2 agustus kemarin ada wisuda. bagi saya wisuda selalu membawa dua: perayaan dan pelepasan. banyak pula, selain wisuda, hal-hal yang saya hadapi di minggu-minggu kemarin yang memaksa saya merasakan lagi riuhnya pertemuan dan getirnya perpisahan.

Share
Tweet
Pin
Share
No comments
perang sendiri awalnya diberi judul rumah pengkhianat waktu. ia ditulis di bulan februari tahun ini; sebuah refleksi dari apa yang telah saya hadapi beberapa bulan, bahkan tahun, belakangan: saya menyadari bahwa waktu tidak sepenuhnya berjalan sendiri. ia membawa sekian banyak kewajiban dan tuntutan yang (seharusnya) dituntaskan.

rumah pengkhianat waktu adalah sebuah tempat fiksi sebagai simbol bagi kamar kos saya yang saya tinggali di jatinangor selama lima tahun. sebuah simbol bagi kenyamanan yang semu yang akhirnya membuat saya harus berperang melawan diri sendiri untuk bisa keluar dari kenyamanan tersebut dan menyadarkan diri akan banyaknya waktu yang sudah lewat dan betapa nyatanya hal-hal yang saya harus hadapi.




saya masih berjuang untuk lulus kuliah pada semester saya yang kesebelas. adik-adik tingkat datang dan kakak-kakak tingkat pergi, teman-teman bermain pun hilang dan berganti.

sejujurnya, rasanya tidak selalu buruk. saya belajar untuk menikmati semuanya sendiri.

koridor kos yang biasanya sibuk tiap hari pukul delapan pagi mendadak sepi pada bulan desember dan januari, pun agustus dan juli. kulkas milik bersama di lantai tiga jadi milik sendiri pada bulan-bulan tersebut. gerbang kos yang seharusnya ditutup tiap pukul sebelas malam hanya dibukakan untuk saya yang sering kelayapan sampai pagi. kecepatan internet menjadi semakin ideal untuk menonton puluhan video dalam daftar saya, mengabaikan deadline-deadline skripsi yang harus dikerjakan dan pertemuan dengan dosen yang dibatalkan.

saya sangat sadar dengan betapa cepatnya waktu berlari saat saya hanya berjalan santai untuk pergi membeli bahan makanan minggu ini (biasanya hanya terdiri dari mi instan dan biskuit). tapi sepi, tidak seperti sunyi, membuat lupa akan waktu. saya tidak benar-benar ingat apakah bahan makanan minggu ini benar habis dalam waktu seminggu atau sudah habis dua hari lalu. saya tidak pernah benar-benar ingat apa saya bangun terlalu pagi di hari selasa atau rabu.

baru kemudian saya sadar bahwa selain membuat lupa akan waktu, sepi dan sendiri membuat lupa akan semua urusan yang seharusnya saya selesaikan saat waktu sedang sibuk berjalan.

saya masih berjuang untuk lulus kuliah pada semester saya yang kesebelas. adik-adik tingkat datang dan kakak-kakak tingkat pergi, teman-teman bermain pun hilang dan berganti.

ternyata, rasanya seburuk ini. saya hampir kehilangan diri sendiri.

-

sekitar bulan oktober, saya akhirnya memulai kembali skripsi saya yang saya abaikan hampir setahun. bulan desember dan januari kemudian menjadi bulan-bulan terberat bagi saya dan kesehatan mental saya. kemudian februari hingga bulan ini--terima kasih, tuhan--saya kini sudah mampu menyibukkan diri dengan skripsi dan meramaikan diri dengan menghadirkan teman-teman di sekitar saya setiap hari.

saya terkadang memberi kesempatan untuk menikmati waktu saya menyepi. tapi kini saya tidak lagi hanya bersantai ditawan waktu di rumah saya sendiri, saya kini ikut berperang.

semoga kalian tidak dikhianati waktu dan diri sendiri, sekarang maupun nanti.


cheers,
ζ



[baca: perang sendiri] 
----------------------------------------------------------------------------
picture: kamar kos 311
taken with Lenovo S850 on 3/5/2018
edited with KujiCam and Microsoft Office Picture Manager
Share
Tweet
Pin
Share
1 comments
ideas are wild.

they swim across your mind ceaselessly; bad or pleasant, imaginative or reflective, of present or future.

writing, for me, is one of the ways of taming ideas; picking them one by one, linking them together, and grounding them in letters instead of letting them roam dangerously inside your head.
the process of converting ideas to written words is never easy. ideas hold such great depth and power within them and finding words that manage to portray that kind of intensity is an intricate job only human can do.

that makes writing, for me, an attempt of being a complete human.
i write, i create, thus i exist. i establish myself by arranging my thoughts and ideas; i live through writing them all down. writing immortalizes you and all the things that make you human: your view, your feelings, your memories, your wishes. if i write, though my body is decaying, my ideas will be mummified within my words. i never cease to exist in written works of my thoughts.



i genuinely hope that my ideas and my words presented here are to be treasured, whether now or many, many years later.

i start this blog to document my (most of them are written) works and life. may they be as enjoyable to read as much as i enjoy writing them. and may this run for a long time, and with as much fervor as i begin with.

cheers,
ζ
Share
Tweet
Pin
Share
No comments

hello

Zetta, 23

I write, therefore I am.

find me

  • twitter
  • instagram

tags

  • writing (9)
  • di belakang (8)
  • poem (7)
  • a day in life (4)
  • prose (4)
  • english (3)
  • ke depan (2)
  • photo (2)
  • instagram (1)
  • short story (1)

recent posts

archive

  • ▼  2019 (11)
    • ▼  Oct 2019 (1)
      • di belakang: ep. 7 - apa yang harus dilakukan sete...
    • ►  Sep 2019 (1)
    • ►  Aug 2019 (1)
    • ►  Apr 2019 (2)
    • ►  Mar 2019 (4)
    • ►  Feb 2019 (2)
  • ►  2018 (14)
    • ►  Oct 2018 (2)
    • ►  Sep 2018 (4)
    • ►  Aug 2018 (5)
    • ►  Jul 2018 (3)

this week's favs

  • di belakang: ep.1 - perang sendiri
  • di belakang: ep.6 - jurusan jakarta-sumedang
  • di belakang: ep.2 - tinggal
  • di belakang: ep.5 - layang-layang
  • ampas

Created with by ThemeXpose