di belakang: ep.6 - jurusan jakarta-sumedang

by - 6:07:00 PM

kadang menulis memang bisa membuat saya merasa berlebihan memandang sesuatu. saya kerap kali dipaksa memberikan arti pada hal-hal yang sebenarnya bisa saja saya abaikan. misalnya, lupa membawa kunci rumah atau kostan dan jadi terkunci di luar. bukan hal yang monumental dalam hidup dan harus saya abadikan, bukan? tapi saya beri kunci kamar, jatinangor, dan jakarta arti lebih. lalu, jurusan jakarta-sumedang tercipta.

-

jurusan jakarta-sumedang ditulis di hari yang sama ketika saya harus pergi ke jatinangor (untuk revisi terakhir skripsi (yang-akhirnya-sudah diselesaikan!)), tapi saya baru teringat bahwa saya tidak membawa kunci apartemen ketika saya sudah duduk manis di gerbong kereta yang tengah melaju menuju bandung.




saya sudah tinggal di jakarta, di rumah yang sama, bertumbuh dan bersama orang-orang yang sama, selama 17 tahun hidup saya. lalu tahun 2013 saya diterima di unpad dan pergi ke jatinangor, meninggalkan kota jakarta dan rumah satu-satunya yang saya tahu. tapi siapa yang tahu, ternyata di sana saya menemukan kota (kecamatan) dan rumah yang baru.

enam tahun lalu, saya mungkin mengartikan rumah hanya sebatas dinding batu-bata dan atap, menaungi sebuah keluarga yang dipaksa tinggal bersama. itulah jakarta bagi saya. tapi jatinangor menawarkan rumah yang datang satu paket dengan kebebasan dan fasilitas untuk menemukan diri saya sendiri tanpa kepura-puraan. saya terima tawaran rumah baru tersebut dan saya bayar lewat angsuran.

beberapa tahun terakhir di jatinangor, saya merasa bahwa "pulang" ke jakarta adalah sebuah tugas. dan seperti semua tugas, saya menunda-nunda menyelesaikannya. jadwal kepulangan saya saat masih tingkat satu adalah sebulan sekali. saat saya tingkat dua berubah menjadi dua bulan sekali. ketika saya tingkat empat, saya pulang satu semester sekali. titel rumah lebih tepat diberikan pada jatinangor, bukan jakarta. rumah saya berubah, tapi saya merasa baik-baik saja.

ketika saya berjarak dengan jakarta, ia jadi lebih hangat. saya pulang disambut senyuman dan kadang pelukan. jarak memang kadang menjadi obat bagi hati yang malu saat dekat. papa mencium pipi kanan saya kalau saya baru pulang, dan mama mengecup pipi kiri saya kalau saya hendak pergi. di jakarta saya kadang harus membagi dua hari di akhir minggu untuk kakak, teman sma, teman smp, dan teman kuliah. kami semua bertumbuh, tapi tidak menjauh. jakarta menjadi berbeda dan tetap familiar di saat yang sama. lalu saya sadar bahwa rumah saya bukan berubah, melainkan bertambah.

tapi ketika saya sedang terhimpit pengapnya primajasa lebak bulus-tasikmalaya atau tersengat wangi parfum penumpang sebelah di kereta bandung-jakarta, saya selalu merasa melankolis, tapi euforik. sedih, senang, lelah, semangat, dan perasaan-perasaan kontradiktif lainnya bercampur. jarum di spektrum perasaan bergerak kacau sepanjang tiga sampai empat jam perjalanan. tapi begitu sampai di tempat tujuan, campuran perasaan tadi menghasilkan rindu akan tempat yang baru saja ditinggalkan. dan saya kemudian belajar (lagi) bahwa rindu tidak pernah datang sendiri; ia selalu bergandengan tangan dengan sendu dan berkomplot menyerang saya.
sendunya memang akan berangsur reda hanya dalam sehari dua hari, lalu saya akan merasa baik lagi; sudah sibuk membuat rencana dengan teman dan keluarga. namun jadwal berangkat berikutnya ditetapkan lagi. sedih, senang, lelah, semangat, rindu, kemudian sendu; semuanya harus diulangi.

saya mulai menyadari bahwa sulit sekali menjaga tenang kalau saya punya dua tempat yang saya anggap rumah. berangkat dari satu rumah dan pulang ke rumah lainnya banyak mempengaruhi saya secara fisik dan emosional, dan membuat saya mudah sekali lelah. juga sebuah hal yang sulit untuk menentukan ke mana saya benar-benar berpulang. saya selalu merindukan jatinangor di jakarta, dan merindukan jakarta di jatinangor.




saya menulis ini saat saya tengah menyiapkan masa-masa terakhir di jatinangor. saya akhirnya lulus di bulan februari lalu. setelah wisuda di mei mendatang, saya akan sepenuhnya meninggalkan jatinangor dan pulang ke jakarta.
entah seberapa banyak rindu dan sendu yang harus saya bawa sendiri; entah berapa lama mereka akan bermain di kepala saya; entah mereka akan pergi atau menetap selamanya.

tapi sebagaimana jakarta yang tumbuh bersama saya bahkan saat saya meninggalkannya, saya harap jatinangor bisa berlaku begitu juga. bertumbuh bersama dan bisa menjadi rumah kecil di ujung kota, tempat saya, sepuluh tahun lagi, bisa pulang dan masih merayakan kebebasan yang sama.



cheers,
ζ

---------------------------------------
KL's skyline in b/w taken on Feb 23rd 2019, edited with Photos
Bandung station taken on Feb 18th 2019 edited with VSCO

You May Also Like

0 comments