di belakang: ep. 7 - apa yang harus dilakukan setelah gagal
kemarin saya melamar pekerjaan. itu adalah kali pertama sejak beberapa tahun belakangan saya benar-benar berharap akan sesuatu yang menyenangkan, dan saya merasa saya punya cukup peluang untuk bisa mendapatkan pekerjaan ini.
yang sering luput oleh saya, adalah seberapa tinggi kita berharap, ya sejauh itu pula kita akan jatuh.
jadi saya siapkan penghiburan pertama pada kekecewaan: puisi.
awalnya tulisan ini tidak saya beri judul. saya menulis "apa yang harus dilakukan setelah gagal" tepat di ruang tunggu perusahaan tempat saya wawancara kerja. kemudian, setelah dua tes kemampuan dan dua tahapan wawancara kerja, seperti judul tulisan ini, saya gagal.
-
awalnya saya merasa saya bereaksi berlebihan, "baru ditolak sekali, sudah begini?"
tapi kemudian saya sadar saya termasuk orang yang penakut dan pencemas. gagal dan menanggung malu terhadap diri sendiri rasanya berat sekali buat saya. jeleknya, saya jadi tidak banyak mencoba hal di dunia, karena saya kebanyakan pelihara takut-takut di kepala. saya rasa, kegagalan dalam cari kerja ini adalah hal yang (umumnya) terjadi pada semua orang, dan (amit-amitnya, tapi nyatanya) akan terjadi berulang kali. tapi kegagalan pertama rasanya memang berbeda; dan karena saya jarang berusaha dan berharap, gagal kali ini cukup membekas untuk saya.
setelah diinformasikan kalau lamaran kerja belum bisa diterima, sedih adalah respon normal. meragukan diri sendiri, walaupun buruk kalau dibiarkan berlarut, juga adalah respon normal. semua respon-respon ini, bagi saya, harus didengar dan dirasakan untuk kemudian diobati. bukan langsung perang dan lempar senjata. kalau respon diri ditekan dengan aksi represif, bisa-bisa ia memberontak lalu meledak. itu namanya jahat pada diri sendiri. (iya, gak, pak polisi? eh—)
perlu diingat kalau sedih kadang memang gemar membuka celah buat sesal dan kesal masuk. "kenapa kemarin saya jawab pertanyaannya kayak gitu?", "harusnya saya mikirin jawaban saya lebih matang", "coba aja kalau kemarin saya ngomongnya lebih jelas", dan sejuta bentuk what if dan should've been lainnya tidak akan membuat kita merasa lebih baik. acknowledge what you did wrong in the past, but live in the present and plan for the future. tumpukan "kalau saja" dan "kemarin seharusnya" tidak bisa membuat kamu kembali ke wawancara kerja—atau kegagalan apapun yang kamu buat—kemarin, yang berarti hanya buang-buang waktu dan menyiksa diri.
-
satu hal yang mempermudah saya menerima hal ini, dan salah satu tema besar puisi ini, adalah: saya masih percaya pada tuhan dan rencananya.
tuhan tidak pernah meminta manusia berlarut-larut dalam pikirannya sendiri; tidak membolehkan, tidak memerintahkan, dan tidak memberi imbalan atas menyiksa diri lewat perang di kepala sendiri.
dia tahu segala yang buruk dan baik untuk makhluk-makhluk yang ia ciptakan. mungkin jalan yang kau pikir bahagiamu justru menjauhkan kamu dari bahagia berkali-kali lipat yang bisa kamu temukan tujuh langkah di depan kegagalan. maka, cara yang paling baik melawan kekecewaan adalah mengikhlaskan.
(tapi jangan sampai lupa berusaha lagi).
memang, tidak semua orang mengakui tuhan ada. mungkin puisi ini juga jadi terasa omong-kosong kalau anda tidak percaya tuhan.
bagaimanapun, saya berharap, percaya tuhan atau tidak, kita semua punya hal yang membantu kita melewati semuanya dan melepaskan hal-hal yang memang bukan (atau belum) untuk kita.
belajar merelakan memang butuh waktu yang lama. so, take your time.
cheers,
ζ
--------------------------------------------------------------------------
black and white version of jendela rumah
taken with Lenovo S850 on 30/09/2019, edited with Photos
0 comments