Ampas dari Ampas

by - 7:00:00 PM


Mata Salsa masih setengah tertutup ketika ia menjerang air di ketel; baru sepenuhnya terbuka ketika ia membuka lemari dan tidak mendapati gelas bersih. Ia menghela napas dan mengedarkan pandangan ke penjuru apartemennya. Pantas saja; satu gelas bertengger di bagian lengan sofa (posisi yang berbahaya, ia tahu; ia juga bingung bagaimana gelas itu bisa belum jatuh juga), satu gelas lain ada di meja kerjanya, dan satu lagi di atas kulkas. Ketiganya, ia sudah tahu tanpa perlu melihat, berisi ampas kopi pagi tiga hari kemarin. Rasa-rasanya ampas di gelas di atas kulkas sudah siap jadi tempat tumbuh jamur. Salsa tidak peduli; bentuk kehidupan di masa-masa penuh kematian, sehina apapun, harus diapresiasi.

Hari Sabtu harusnya jadi hari di mana Salsa tidak perlu bangun sebelum pukul sembilan dan hari di mana ia tidak perlu mendidihkan air untuk membuat kopi agar ia bisa melewati hari, lalu mandi pagi-pagi. Ia mulai menyesali mengapa ia menerima (lagi) tawaran Gio untuk menghadiri kencan buta yang kesekian kali. Tapi janji adalah janji.

Ia mengambil gelas-gelas kotor dan menumpahkan isinya (ternyata gelas di atas kulkas belum berjamur) ke tempat cuci. Ampas kopi yang sudah bergumpal mewarnai wastafelnya. Butir-butir hitam kecokelatan memenuhi bak cuci dan wangi kopi samar-samar memenuhi ruangan. Ia kemudian membuka keran dan memaksa gumpalan-gumpalan tersebut pecah dan terbuang bersama aliran air. Untuk beberapa detik, Salsa menikmati pudarnya bintik-bintik hitam tersebut hingga hilang dari pandangan, kemudian ia kembali menghela napas panjang. Ketel berbunyi nyaring. Ia bersegera mencuci gelas-gelasnya.

-


-

Salsa sudah hafal urutan agenda dalam kencan-kencan pertama. Kalau ia bisa pergi siang hari, berarti urutan pertama adalah makan siang, kemudian jalan-jalan entah ke mana, lalu bincang-bincang kosong di kedai kopi, kemudian berpura-pura terlalu lelah, lalu pulang. Begitu seterusnya; kadang urutannya berubah sesuai teman kencannya hari itu.

Kalau ia pergi malam hari, berarti ia makan malam, kemudian menghabiskan waktu di kedai kopi yang masih buka, lalu pergi ke bar atau klub malam dalam rangka menghilangkan beban sekaligus kesadaran. Tapi setelah kekacauan dalam sebuah kencan pertama (yang melibatkan terlalu banyak alkohol, memori jahat yang tidak kunjung enyah, dan Gio yang harus datang menjemputnya dan menggendongnya pulang ke apartemen), Salsa sudah cukup tahu diri untuk menjadwalkan kencannya hanya di siang hari.

Salsa sudah menjalani setengah agenda standar kencan pertama hari ini setengah hati. Kini ia tengah menghirup pelan minuman hangat yang mulai dingin di gelas keramik di depannya sambil menatap kosong ke laki-laki di hadapannya, teman kencannya hari ini. Ia rekan kerja dan teman SMA Gio. Ini berarti umurnya tidak jauh dari Salsa. Ada kacamata berbingkai lingkaran tipis bertengger di hidung bangirnya, rambutnya disisir ke belakang dan kumisnya dicukur rapi. Gio tidak bohong saat ia bilang temannya lumayan ganteng, tapi Gio sepertinya lupa bilang kalau temannya ini… cukup bersemangat.

Ia masih mendengarkan laki-laki di depannya ini (Raka? Arka? Salsa sudah tidak ingat lagi, tadi ia memanggilnya apa, ya?) membahas film yang baru mereka tonton satu jam lalu dengan antusias, menjelaskan satu persatu perbedaan yang ada di komik dan film adaptasinya. Salsa hanya memasang senyum yang khusus ia latih untuk kencan-kencan pertama berisi laki-laki yang gemar sekali menjelaskan hal-hal yang Salsa sudah pahami.

Tapi ia hanya mampu meneruskan sandiwaranya sampai dua puluh menit setelahnya. Pada menit ke-21 Salsa mulai lelah mengangguk-angguk sambil mengiyakan di sana-sini, kadang ia perlu membetulkan dalam hati omong kosong yang diutarakan si lelaki (mungkin namanya bukan Arka, tapi Cakra? Atau mungkin Caraka?). Salsa akhirnya mengecek jam tangannya dengan gerakan yang dilebih-lebihkan, memasang wajah kaget yang sudah terlatih, lalu bersiap-siap melancarkan kalimat penutup untuk kencan pertama hari ini.

“Wah, udah jam segini. Pulang, yuk. Gue masih ada kerjaan, nih, buat minggu depan.” Ujar Salsa. Senyumnya tipis, berusaha menyembunyikan rasa bersalah dan lidahnya yang tebal karena kebohongan berlapis-lapis.

-


-

Sepanjang perjalanan pulang, tangan Salsa kedinginan ditempa angin AC mobil yang terlalu kencang. Tapi ia tahan karena ia sudah hampir sampai di lobi gedung apartemennya. Ia baru mau membuka mulutnya untuk berterima kasih ketika suara laki-laki di sebelahnya mendahuluinya.

“Salsa,” ia memulai dengan pelan, menunggu Salsa berbalik ke arahnya. Ia berdeham sebelum melanjutkan, “Gue sadar kalau gak akan ada second date. Mungkin gue memang gak ingin ada.”

Salsa mendadak kaku, bibirnya dikatupkan rapat-rapat.

“Karena rasanya aneh banget, first date sama orang yang terus-terusan salah manggil nama gue sepanjang hari ini, dan bahkan gak sadar kalau dia salah.” Lanjutnya sambil tersenyum kaku. Ia terdiam lagi untuk beberapa saat. “Gue mungkin akan terdengar terlalu serius untuk ukuran orang yang baru kenal lo lewat cerita Gio dan baru pernah nge-date sekali ini sama lo, tapi gue gak akan siap untuk punya second date di mana gue harus ngebenerin nama gue sendiri tiap lo panggil.”

“Gue sadar gue gak punya hak untuk tahu siapa itu Tian yang lo panggil-panggil seharian tadi dan kenapa selalu dia yang lo sebut, Sa. Tapi kalau lo belum mau berusaha lebih untuk kenal orang baru and actually remember their names, lo bisa tolak tawaran Gio, kok. Supaya gak canggung kayak gini,” kemudian berbisik menambahkan, “dan supaya gak bikin orang sakit hati, Sa.”

Ia lalu terdiam. Salsa juga masih terdiam.

Keheningan terasa terlalu ramai di telinga Salsa dan terlalu lama di jam mobil yang masih menyala, sampai akhirnya ia mendengar laki-laki di sebelahnya menghela napas panjang. Kemudian ia menghembuskannya lebih panjang lagi.

“Oke, kalau gitu. See you around, Salsa. Semoga bisa inget nama gue lain kali, ya.”

Salsa mengangguk kecil, matanya kini hanya bisa menatap ujung sepatunya dan tidak menatap lawan bicaranya. Sambil membuka pintu mobil, ia bergumam, “Maaf. Tapi terima kasih banyak, ya, hari ini.”

Ia hanya mendengar gumaman kecil sebelum pintu mobil tertutup.

-


-

Salsa memejamkan mata dan mengistirahatkan kepalanya pada dinding lift yang dingin. Adegan tadi bukan baru sekali terjadi dalam rentetan kencan-kencan pertama Salsa (tapi tak bisa disangkal bahwa tadi adalah salah satu teguran yang paling lembut dan sedih yang pernah ia dapatkan). Jelas terlihat bahwa itu penyebab Salsa tidak pernah merasakan kencan kedua, ketiga, dan seterusnya. Semuanya berhenti pada kencan pertama, deretan nama yang tidak ia ingat, dan nomor telepon yang tidak pernah ia angkat. Tidak seperti ampas kopi yang ia diamkan tiga hari, Salsa langsung menyikat bersih-bersih gelas memorinya yang baru dengan sabun cuci, menguburnya dalam wangi jeruk nipis dan formula antibakteri.

Ia sudah sampai di depan unit apartemennya, membuka pintu, dan menyambut kegelapan kamarnya. Ia melempar asal tas selempangnya, menyalakan lampu, lalu berganti baju. Kemudian, ia buru-buru ke kamar mandi untuk membasuh riasan wajahnya.

Sambil memijat-mijat wajahnya dengan busa sabun yang tidak habis-habisnya, ia mengingat-ingat pekerjaan yang belum sempat ia rampungkan hari kemarin. Ia menimbang-nimbang apakah ia punya cukup waktu untuk menyelesaikan semuanya esok hari, sementara ia baru bisa pulang dari peringatan setahun meninggalnya Tian sore hari. Ia membilas mukanya dan menetapkan bahwa ia akan mencoba menyelesaikannya malam ini. Dengan begitu, ia jadi 1) tidak berbohong saat ia bilang pada Arka (Salsa tadi sudah mengecek ulang obrolan dengan Gio di WhatsApp, namanya benar Arka) ia masih punya pekerjaan untuk minggu depan dan 2) masih punya waktu santai sebelum Senin datang.

Ia menepuk-nepuk handuk di wajahnya sambil menghampiri tempat gelas dan piring bersih. Kemudian lengan, tangan, dan kakinya bergerak otomatis mengambil gelas, mendidihkan air, lalu menyeduh kopi untuk teman bermalam.

Ia bawa gelas panasnya ke meja kerja. Lalu ia meringis saat melihat ada gelas kopi bekas tadi pagi yang belum ia cuci. Saat ia mengintip sedikit ke dasar gelas, Salsa melihat ampasnya hampir kering. Ia menimbang-nimbang apakah ia harus mencucinya sekarang sebelum kejadian pagi hari ini terulang.

Ia berdiri memandang dua gelas kopi di depannya; yang satu hanya berisi ampas dan yang lain masih panas. Tapi Salsa enggan buru-buru mencuci gelas kotornya. Toh, aroma dan warna kopi yang berdiam di dasar gelas tidak juga hilang, tidak peduli sekencang apapun aliran air untuk membilas. Sama keras kepalanya seperti nama yang ia kubur dalam-dalam di gumpalan kopi bekas. Sebuah nama yang terus mengendap dan semakin pekat walaupun tiap butiran sudah ditelan saluran pembuangan. 

Untuk apa repot-repot mencuci gelas dan membuang sisanya cepat-cepat kalau ia masih punya satu lagi gelas tak terpakai untuk esok pagi, aliran air yang terlalu lemah untuk membilas dan mencuci, dan nama yang ia sembunyikan dalam ampas kopi dengan teramat hati-hati.

-

Laptopnya sudah menyala dan spreadsheet berisi angka-angka bermakna sudah terpampang di depannya. Salsa menghembuskan napas, mencoba menahan diri untuk tidak membuka folder berisi fotonya dan Tian tahun kemarin; sebuah kebiasaan desktruktif yang ia mulai lakukan setahun terakhir, yang biasanya berakhir dengan Salsa menghabiskan setengah botol liquor dan enggan bangun menyambut hangover esok harinya.

Sebelum memulai bekerja, Salsa menengok ke arah smartphone-nya yang ia letakkan di ujung meja. Jam digital di layarnya menunjukkan pukul 20.20.

Huruf T.

Ia tersenyum kecil.

Ternyata tanda-tanda orang rindu sama saja, baik di bumi maupun di surga.

---




Jatinangor, 7 Maret 2019
ζ

based on: ampas

pictures:
Madinah's skyline (27/12/2017)
The way to Mecca (29/12/2017)
Jakarta's skyline (24/02/2018)
All taken with Lenovo S850, first two are edited with VSCO

You May Also Like

1 comments